Oleh: Eddy Ngganggus
Suatu ketika, burung gagak yang hampir punah di Manggarai merasakan bahwa hari-hari terakhirnya di tanah itu akan segera tiba. Ia bertengger di atas ranting pohon tua, rumah yang telah lama menjadi tempat tinggalnya. Sebelum pergi dan tak akan kembali lagi, gagak itu ingin meninggalkan kesan terakhirnya kepada manusia melalui untaian kata yang dituangkan dalam sebuah nyanyian:
“Inung tuak kraeng toe teing ami mendi, ami mendim o kesa weong ge…”
Dalam syair itu, gagak memparalelkan nasib dirinya dengan mendi (hamba) di hadapan tuannya, sang kraeng, dengan tuaknya. Tuak, dalam budaya Manggarai, adalah minuman elit dan eksklusif. Demikian pula alam, tempat gagak dan kaumnya tinggal, adalah “tuak” paling nikmat—indah, nyaman, dan istimewa. Namun kini semuanya telah hilang karena ditebang dan dieksploitasi manusia demi kepentingannya sendiri.
Filosofi Manggarai sebenarnya memandang puar sebagai “anak rona”. Dari puar itulah berasal molas poco sebagai haju siri bongkok mbaru gendang. Maka pantaslah jika kita memperlakukan puar beserta seluruh luasan alam semesta ini sebagai rumah bersama, tempat hidup semua ciptaan, bukan hanya manusia.
Seperti yang diingatkan oleh mendiang Paus Fransiskus, manusia bukan pusat kehidupan (antroposentris). Ada juga makhluk lain yang turut hidup dalam semesta Manggarai. Karena itu, beliau menyerukan agar kita melakukan pertobatan ekologis: teser poka puar pinanaeng—hentikan eksploitasi sumber daya alam tanpa kendali.
Jangan sampai kisah tragis gagak yang “pamit” dari hutan Manggarai terulang pada makhluk lain.
Eme inung tuak kraeng neka hemong r’oeng do, neka inung hanang koe.
Jika mengeksploitasi alam, janganlah terlalu egois. Sisakan juga untuk makhluk lain yang menjadikannya sebagai habitat.